Naik pesawat sendirian untuk
pertama kalinya membuat saya deg-degan dan gugup. Sebenarnya ada rasa cemas dan
takut sih, takut terjadi apa-apa nantinya di perjalanan atau saya salah masuk
pesawat atau kejadian-kejadian yang pernah saya baca di koran. Serem dan
menakutkan. Tapi harus bagaimana lagi, toh saya harus mudik sendiri ke kampung halaman dan tiket sudah terbeli.
Karena saat itu saya lagi diperantauan dan mudik untuk liburan hari raya.
Karena pertama kalinya saya mudik
sendiri dengan pesawat dan sangat tidak tahu apa-apa bagaimana cara ke bandara,
cara masuk ke gate dan segala macamnya. Saat itu saya diantar om dan tanteku
yang juga tinggal di perantauan ini. Mereka berdua memaklumi kalau diriku itu
takut. Tapi mereka ingin agar saya bisa dan pasti bisa naik pesawat sendiri.
Akhirnya saya beranikan diri
masuk sendiri mulai dari pemeriksaan karcis dan barang. Om dan Tante hanya
menunggu di luar sambil memperhatikanku dari jauh. Sesekali saya menoleh ke
belakang melihat mereka berdua, karena saya merasa gugup. Ingin rasanya
menangis atas ketakutan ini. Ingin rasanya memanggil mereka berdua masuk ke
dalam membantu saya. Jujur sekali saya tidak tahu apa-apa dan apa yang harus
saya lakukan berikutnya. Tapi saya jadi teringat dengan perkataan Om saya,
" Kalau di mana-mana jangan sampai terlihat takut, bingung dan cemas.
Karena bisa jadi ada orang jahat yang tahu tingkahmu dan memanfaatkan situasi
yang ada. Jadi belajarlah sok tahu dan berani. Oke."
Akhirnya saya pura-pura sok tahu.
Supaya saya tidak terlihat bingung, saya bertanya pada satpam atau petugas yang
berseragam. Setelah tiket dan barang diperiksa, lalu saya pergi ke counter
tiket untuk cek-in. Kebetulan saat itu saya membawa satu koper baju, satu tas
ransel, dan dua dus karton berisi oleh-oleh untuk orang kampung. Maklumlah ya,
sebagai buah tangan keluarga di rumah. Mereka pastinya akan sangat bahagia
kalau saya mudik membawa buah tangan. Kapan lagi nih memberikan kebahagiaan
untuk orang tua dan adik-adik. Apalagi di perantauan saya sudah bekerja dan bisa dikatakan sukses lah. Tentulah
harapan terbaik orang tua untuk anaknya di perantauan.
Oke, berlanjut ke counter cek-in
ya, sewaktu giliran saya cek-in saya diminta bukti print-an pemesanan pesawat
atau kode booking dan KTP asli. Nah baru setelah itu saya diprintkan tiket
pesawatnya. Saat itu petugasnya menanyakan apakah ada barang yang mau ditaruh
di bagasi. Saya langsung spontan dan pede
bilang, "Gak ada , Pak." Padahal bawaan saya waktu itu banyak
dan bejibun. Saya berfikir saat itu kalau barang-barang saya ditaruh di bagasi
nanti harus bayar lagi dan kalau hilang bagaimana? Nah, mulai deh kecemasan itu
terjadi pada saya. Lalu bagaimana mau membawa barang sebanyak ini? Saya berpikir
bahwa saya pasti bisa. Toh saya punya dua tangan, dan dua-duanya bisa
dimanfaatkan dong. Masak pegang dua dus dan satu koper ke pesawat tidak bisa?
Setelah mendapat tiket, saya
langsung saja menuju pesawat dan sebelumnya harus bayar tax dulu sebesar Rp.
40. 000. Dalam hati sih kok bayar lagi. Mahal pula. Ternyata naik pesawat itu
masih nambah bayar-bayar ini itu juga ya.
Melewati pintu pembayaran tax, saya dihadapi oleh eskalator yang hanya
cukup satu orang. Eskalator ini ada dua
di kanan dan kiri sedangkan di tengahnya hanya tangga biasa. Nah, saya
mulai bingung nih, "Bagaimana caranya saya bawa barang barang ini naik
eskalator? Atau saya tenteng saja satu-persatu ke atas? Aish, udik sekali sih
saya ini." Emang iya sih. Hush, jangan bilang siapa-siapa ya.
Sampai di depan eskalator, saya
menaruh dua dus itu satu satu di tangga-tangga eskalator. Sesampainya di atas
saya ambil satu-satu lagi. Sempat sih ada yang membantu mengangkatkan dari
tangga eskalator. Mungkin karena kasihan kali ya melihat saya sibuk sendiri dan
kesusahan. Ah, orang itu baik banget deh.
Tapi, saya sempat melihat sekeliling, kenapa semua orang memandangku
seperti itu. Sepertinya mereka terheran-heran atau apakah saya terlihat lucu
atau justru saya ini terlihat cantik atau bahkan udik. Ah, masa bodoh dengan
mereka, yang penting saya sampai ke Gate supaya tidak ketinggalan pesawat.
Nah sampai di atas saya masih
harus menuju ruang pemeriksaan barang lagi termasuk handphone. Sesampainya di
ruang itu, ada petugas yang berkata pada saya, "Mbak kenapa
barang-barangnya tidak dibagasikan saja. Kan banyak sekali. Di pesawat gak bisa
menaruh barang banyak-banyak. Lagian mbak bakalan repot sendiri."
Saya terbengong-bengong sendiri
dan merasa malu. Hanya menjawab dengan perkataan, "Oh begitu ya Pak.
Baiklah saya turun ke bawah dulu ya naruh barang-barang ini di bagasi. "
Akhirnya saya kembali lagi ke
bawah menuju counter tiket cek-in yang awal. Sambil sibuk sendiri membawa
barang-barang saya. Padahal jarak tempuhnya cukup jauh lo. Ternyata saya kuat
sekali ya membawa barang sebegitu banyaknya. Semua orang di sekeliling masih
memperhatikan tingkah laku saya. Ada yang berbisik-bisik entah membicarakan
keudikan dan tingkah tolol saya. Ada pula yang tertawa dan senyum-senyum
terhadap kelakuan saya dengan bawaan barang yang banyak apalagi bawa dus dua
karton. Haduh. Benar-benar seperti orang kampung ya. Loh iyalah orang kampung,
kan saya ini mau pulang kampung. Padahal penampilan saya sudah oke banget lo
dan sudah seperti penampilan orang pada umumnya. Gak udik-udik amat kok.
Mungkin keudikan dan kebodohanku ini nih yang membuat saya jadi malu. Ingin
rasanya saya tutup wajah ini pakai masker atau ingin cepat lari dari sini dan
langsung menuju pesawat. Tapi rasa malu ini tak bisa dihindari. Mereka tetap
menatapku dengan wajah-wajah yang mencurigakan. Sampai sampai saya menggerutu,
"Aduh malunya diriku."
Sesampainya di counter tiket,
lalu saya mengatakan kepada petugaanya kalau saya mau bagasikan barang-barang
saya. Eh malah petugasnya senyum-senyum pada saya sambil melihat barang-barang
saya yang banyak. Dan itu berarti mereka mengejek dan menghina kelakuanku. Aduh
jadi tambah malu deh saya.
Setelah selesai cek-in barang ke
bagasi. Buru-buru saya berlari cepat menuju eskalator lagi. Saya hanya membawa
tas ransel saja dan tidak harus capek-capek membopong tas koper dan dus-dus
tadi. Ah lega rasanya. Rasa malu ini tak bisa hilang. Saya benar-benar malu.
Sungguh dan benar-benar kejadian ini tak bisa saya lupakan seumur hidup. Untuk
pertama kalinya menjadi peristiwa yang memalukan. Apakah kalian mengalami hal
yang sama seperti saya?
2 komentar
duuhhh mba Fania pemalu banget sih.. (sama kayak yang ngomong ;p)
Iya mbak. Peemaaluu. Hihi
Posting Komentar