HILANGNYA 5 KEBIASAAN RAMADAN SAAT PANDEMI COVID 19

Tulisan kali ini dari seorang ambu, tepatnya ambu Maria G Soemitro, yang kerap menulis curhat di blog lifestylenya : Curhat Si Ambu Nggak hanya gemar curhat, ambu yang punya 4 orang anak, gemar banget ngemil. Karena itu banyak ulasan tentang kuliner, selain bahasan tentang healthy life dan drama korea. Selanjutnya ambu bisa ditemui di: 

Facebook: https://www.facebook.com/MariaGSoemitro

HILANGNYA 5 KEBIASAAN RAMADAN SAAT PANDEMI COVID 19


“Ramadhan tahun ini tetap sama”

Demikian kata Ustaz Aam Amirudin dengan tegas, ketika seorang jemaah mengeluh, mengatakan bahwa bulan puasa tahun ini terasa “hampa” karena pandemi covid 19 menerpa.

Sebagai umatNya, kita memang mudah mengeluh ya? Diberi nikmat, mengeluh. Diberi ujian, apalagi. Bahkan ada yang “tega” bilang: “duh apa sih dosa saya, kok dikasi sakit sampai begini”.

Termasuk kini, kala dunia mengalami Pandemi Covid-19, dan Indonesia masih berusaha menanggulaninya dengan menerapkan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. 

Konsekuensinya, banyak kegiatan sosial, keagamaan dan ekonomi dibatasi atau malah ditiadakan. Namun harus diingat, tujuannya kan untuk mencegah penyebaran virus Corona. Pemerintah nggak bikin peraturan yang semau gue.

Jadi ketika beberapa kegiatan seperti munggahan, tarawih, buka puasa bersama dan aktivitas Ramadan lain bakal tak digelar tahun ini, nggak usah mengeluh atau merasa “hampa”.

Terlebih ngga semua kegiatan sesuai dengan aturan agama Islam lho. Yuk kita tengok, aktivitas Ramadan apa saja yang ditiadakan:


1. Munggahan


Aktivitas munggahan sebetulnya adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Biasanya dilakukan pada akhir bulan Sya'ban (satu atau dua hari menjelang bulan Ramadhan). 

Tujuannya tentu saja baik, agar memulai puasa dengan membersihkan diri (fisik dan qolbu), serta terhindar dari perbuatan yang tidak baik selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Umumnya dimulai dengan makan bersama (botram = Bahasa Sunda) dan diakhiri dengan bermaaf-maafan. Di beberapa daerah ada kebiasaan mudik sebelum memasuki bulan puasa. Mereka merasa belum afdol jika belum bertemu sanak saudara untuk bermaaf-maafan, kemudian nadran/mengunjungi makam.

Ada 3 kebiasaan yang menandai kegiatan munggahan, yaitu keramasan, munggahan dan nadran. Keramasan atau kuramasan (Bahasa Sunda) menandai yang bersangkutan sudah bersih secara fisik, dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sedangkan munggahan, telah diuraikan di atas merupakan prosesi makan bareng yang ditutup dengan bermaaf-maafan. Aktivitas selanjutnya adalah nadran atau nyadran, yaitu ziarah kubur. Ritual yang dilakukan seputar membersihkan makam diteruskan berdoa bagi ahi kubur.

Bisa dilihat bahwa munggahan bukan sesuatu yang wajib, bahkan tidak dicontohkan oleh Nabi Muhamad SAW, sehingga seharusnya bisa ditinggalkan, terlebih saat pandemi Covid-19.

2. Sholat Tarawih di Masjid


Ngotot tarawih terjadi di beberapa masjid tanah air, bahkan seorang pasien Covid-19 di Lombok, Nusa tenggara Barat nekad tarawih, tidak mempedulikan tindakannya berpotensi menyebarkan virus Corona. 

Sekaligus mengindikasikan sulitnya menghentikan kebiasaan tarawih di masjid. Padahal jika seluruh umat Islam mau mengkaji ayat suci dan hadits, jelas tercantum (sumber: nu.or.id):

Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, 'Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, 'Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dapat ditarik kesimpulan dari hadist di atas, yaitu:

1. Nabi melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid hanya dua malam, karena takut atau khawatir shalat tarawih akan diwajibkan kepada umatnya. 

2. Shalat tarawih hukumnya sunnah, karena sangat digemari oleh Rasulullah dan beliau mengajak orang-orang untuk mengerjakannya. 

Jadi, jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak sholat tarawih di masjid, mengapa kita harus ngotot melakukan sebaliknya?

3. Iftar/Bukber


Sewaktu anak-anak masih kecil, saya kerap mengikuti tadarusan selama bulan Ramadan. Kegiatan ini biasanya ditutup dengan iftar atau buka puasa bareng dengan mengundang anak yatim. Sesuai dengan hadits berikut:

“Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga." (H.R.Tirmidzi no.80, Ibnu Majah no. 1764, Ahmad 5:192)

Sayangnya kebiasaan ini bergeser menjadi bukber saja, tanpa bersedekah. Biasanya sambil reunian, arisan atau kegiatan komunitas semacamnya. Alasannya bersedekah bisa dilakukan sendiri, tanpa melibatkan komunitas. Tapi kan beda ya?

Aktivitas makan bersama sebetulnya merupakan adat istiadat ketimuran. Saya sering “ngaliwet” (makan nasi liwet komplit lauk pauknya) bareng komunitas susur sungai, urban farming di luar bulan Ramadan. Gregetnya sama saja sih. Atau dengan kata lain, hilangnya iftar yang hanya rame-rame seperti ini seharusnya tidak mengurangi amal di bulan puasa.





Jadi sudah lama saya mencoret acara bukber yang “hanya hura-hura” dari daftar, dan menggantinya dengan menyiapkan takjil untuk masjid. Saya kerap membuat sendiri takjil, kecuali tak memungkinkan, rasanya senang sekali melihat santri dan santriwati melahap kudapan yang dibuat dengan sepenuh hati.

4. Tadarusan


Awal masuk Islam, saya sendirian belajar, mulai dari sholat, belajar alif, ba, tsa (dulu belum ada buku Iqro), serta melahap banyak buku yang terkait. Sayangnya buku-buku agama Islam nggak sebanyak sekarang. Bahkan buku untuk anak-anak, seperti tentang para nabi, doa pendek dan sebagainya, baru marak sesudah si bungsu, Mabelle, lahir.



Tak heran, di periode awal saya keteteran mengikuti kegiatan keagamaan. Beruntung perkumpulan arisan yang saya ikuti di sekolah anak-anak, bertransformasi menjadi komunitas mengaji/pengajian. Teman-teman pengajianlah yang berperan menambah wawasan keislaman saya. Mereka mengajak saya mengikuti tafsir, tahsin dan kegiatan-kegiatan keagamaan, salah satunya tadarusan. Nggak hanya satu yang mengajak, tapi banyak.

Awalnya saya bingung ketika ada teman yang bilang: “Ikutan di grup tadarusan saya yuk, saya udah 3 x khatam lho”. Ha? Bulan Ramadan belum berakhir kok dia udah 3 x khatam Alquran sih?

Karena rumahnya cukup dekat, sayapun mengikuti kegiatan tadarusan di rumahnya. Ternyata caranya begini, dari jumlah peserta tadarusan sekitar 20 orang dibagi atas 6 grup, ganjil gak papa, untuk mengantisipasi yang berhalangan datang. Nah setiap grup membaca 5 juz. Misalnya grup 1 membaca juz 1 – 5, grup 2 membaca juz 6 – 10 dan seterusnya. Bacanya bareng dan cepet.

Pantesan bisa berkali-kali khatam, ya?

Sementara ada penjelasan dari Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tablig, Prof Yunahar Ilyas, cara tadarus Alquran yang baik dan benar adalah harus bersama orang yang paham ilmu membaca Alquran. Sehingga tidak hanya bacaan yang diperbaiki, juga dikaji sehingga bisa diamalkan dalam kehidupan.

Jika ngebut begitu boro-boro mengamalkan, mungkin juga tidak paham ayat yang dibacanya, ya? Terlebih saya yang bacanya masih terbata-bata. Disana cuma bisa melongo. #sedihdeh.

Tadarusan juga harus bersama dengan orang yang paham membaca Al Quran dan lebih tinggi ilmunya. Karena menurut, sejarah, Nabi Muhammad SAW melakukan tadarus Alquran bersama Malaikat Jibril AS. Malaikat Jibril AS memimpin Nabi Muhammad membaca Alquran. 

Seorang tetangga yang mengetahui kesulitan saya, mengenalkan pada Enin Husna, yang dengan sabar mengajari saya membaca ayat-ayat Alquran. Sehingga tahun berikutnya bisa mengikuti grup tadarusan lain, yang Alhamdullilah nggak ngebut.

Esensi membaca Alquran emang bukan seperti anak SD yang membaca buku “Ini Budi” “Ini ibu Budi”, nggak paham artinya, hanya baca dan hafal. Seperti yang dipaparkan Prof Yunahar Ilyas, para sahabat nabi belajar Alquran lima ayat dalam sehari. Kalau sudah memahaminya langsung diamalkan dalam kehidupan. "Jadi sebaiknya ditarget, misalnya membacanya Alquran satu juz satu hari. Memahami artinya, maksudnya, tafsirnya lima ayat satu hari, kalau ikut cara sahabat (nabi)," ujarnya.

5. Ngabuburit


Di suatu hari dibulan Ramadan, saya sempat bingung melihat banyak orang duduk-duduk di mall. Tidak belanja atau masuk toko. Hanya duduk-duduk saja. Ada yang mengobrol. Ada yang bengong. Kemudian saya teringat bahwa waktu menjelang magrib.

Mereka sedang ngabuburit!

Berasal dari Bahasa Sunda, ngabuburit merupakan akronim dari “ngalantung ngadagoan burit”, yang artinya bersantai-santai sambil menunggu waktu sore. Burit artinya sore hari, waktu ini biasanya antara jam 15.30-17.30 atau usai salat Ashar, sebelum matahari terbenam.

Nggak ada hubungannya dengan ibadah puasa ya? Namun menjadi kebiasaan masyarakat Sunda, yang ditiru pendatang, untuk duduk-duduk santai menunggu azan Magrib di bulan Ramadan.

Penutup


Perkawinan antara kebiasaan dan pengamalan ibadah pastinya tidak terjadi begitu saja, melalui proses ratusan tahun dan merupakan ikhtiar para wali serta muridnya, sewaktu menyebarkan Agama Islam.

Salah satunya menggunakan kebiasaan etnis Sunda yang gemar berkumpul dengan diturunkannya Alquran di bulan Ramadan dan tadarusan. Sehingga umat Islam bisa meraih pahala sebanyak mungkin.

Namun ketika pandemi Covid-19 membuat ke-5 kegiatan tersebut tidak bisa dilaksanakan, seharusnya dapat diterima dengan lapang dada. Harus bisa memilah, mana aktivitas yang hanya menguntungkan diri sendiri dan kegiatan untuk kemashalatan masyarakat.

1 komentar

turap mengatakan...

Bener banget, hal yang paling dirindukan dalam suasana ramadhan itu ya kebersamaan juga :(