Le Grand Voyage, Sebuah Perjalanan Agung Penuh Makna



Beberapa minggu yang lalu saya naik kereta api dari Malang ke Jakarta. Seperti biasa kereta api menjadi andalan kami ketika harus pulang kampung. Meskipun ada pesawat yang lebih super cepat, Tapi dengan kereta saya bisa menikmati perjalanan, menikmati pemandangan, bangunan, jalan, manusia, transit kereta dan lainnya. Di dalam kereta diputar sebuah film yang awalnya saya tidak peduli. Setelah sedikit mengikuti jalan cerita di awal-awal baru saya sadar bahwa filmnya menarik.  

Tidak seperti film-film lainnya, disini hanyalah menampilkan dialog 2 orang saja. Film garapan Prancis Maroko ini merupakan film muslim pertama yang saya tonton dan sangat menyentuh dalam hati. Berjudul LE GRAND VOYAGE.  Film yang tayang tahun 2004 dan disutradarai Ismaël Ferroukhi mengisahkan tentang hubungan seorang ayah dan anak dalam sebuah perjalanan agung yaitu naik haji ke Mekkah.



Dikisahkan seorang Ayah yang diperankan oleh Mohamed Majd berkeinginan untuk pergi haji, tekatnya yang kuat, membuat Sang Ayah tidak ingin pergi haji dengan naik pesawat, Sang Ayah mengajak anak keduanya yang bernama Reda diperankan oleh Nicolas Cazale. Walaupun terasa berat untuk menemani ayahnya ke Mekkah, namun Reda tetap patuh dengan perintah orang tuanya. 




Perjalanan dimulai. Ayah dan anak ini merupakan dua orang yang tidak pernah akrab dan selalu kaku dalam berkomunikasi. Entahlah apa yang membuat mereka seperti itu. Bahkan pemikiran dua generasi yang berbeda ini pun tidak sama. Seorang Ayah yang lebih matang dalam berpikir harus berhadapan dalam satu perjalanan dengan seorang anak yang sangat cuek, suka berfoya-foya dan bersikap seenaknya sendiri. Ribuan kilometer mereka berdua tempuh selama perjalanan menuju Mekkah. Namun akhirnya hubungan ayah dan anak itu sedikit demi sedikit mulai mencair meskipun banyak pertentangan dan perselisihan terjadi diantara keduanya. 

Sikap keduanya sangat kontra, Reda memiliki gaya hidup hedon, suka berfoya-foya, maunya sendiri, berbeda dengan sikap ayahnya yang taat dalam menjalankan perintah agama dan hidup sederhana. Mengingat hal ini saya jadi teringat dengan lirik lagu dari grup band Nasyid yaitu  Raihan berjudul Iman Adalah Mutiara, yang liriknya sebagai berikut:



Memang benar, keimanan orangtua tidak dapat diwariskan kepada anaknya. Menjadi orang yang beriman harus dilalui dengan sebuah perjuangan memelihara iman dan tauhid serta kesungguhan doa kepada Allah SWT agar kita selalu diberi jalan hidayah dan keselamatan dunia dan akhirat. Misalkan saja seorang ustad yang terkenal sholeh, tidak serta merta anaknya ikut sholeh dan taat. Untuk mencapai taat itu butuh sebuah proses perjalanan. Oke kembali lagi ke filmnya ya.

Selama perjalanan, reda sempat bertanya kepada Ayahnya mengapa mereka harus naik mobil butut ke Mekkah dan tidak naik pesawat saja. Ayah Reda, menjawabnya dengan tenang dan bijaksana, 

“Ketika air samudera menguap menuju langit, air-air tersebut akan kehilangan rasa asinnya dan kembali murni kembali. Air samudera kan menguap seiring naiknya mereka ke kawanan awan dan ketika mereka menguap, mereka akan menjadi murni kembali. Itulah sebabnya lebih baik berangkat haji dengan berjalan kaki daripada menaiki kuda, lebih baik menaiki kuda daripada menggunakan mobil, lebih baik menggunakan mobil daripada menaiki kapal, dan lebih baik menaiki kapal daripada berkendara dengan pesawat..”

Intinya bahwa sebuah niat yang tulus akan membawa ke arah yang baik walaupun harus menempuh perjalanan panjang selama berbulan-bulan, karena setiap langkah dalam perjalanan menuju Baitullah akan dihitung sebagai sebuah pahala yang akan mengurangi dosa dan memurnikan jiwa. 




Ada banyak hal yang mereka temui selama di dalam perjalanan, banyak halangan dan rintangan serta kejadian aneh yang menimpa mereka berdua. Justru itulah yang memberikan banyak hikmah bagi keduanya. Mulai dari sang ayah membuang handphone milik Reda, mendapat tumpangan seorang wanita misterius, ditahan di pos imigrasi Turki, uang sang ayah  dicuri, Reda main perempuan, dan mabuk, terjebak di dalam salju sampai Sang ayah sakit dan dirawat di rumah sakit. Kekecewaan, kemarahan dan perselisihan terjadi diantara kedunya. Saling mempunyai ego masing-masing karena merupakan dua generasi yang berbeda.  Sang Ayah yang sabar, meskipun marah tetap memaafkan anaknya dan melanjutkan perjalanan berdua lagi.
Di tengah-tengah adegan saya mulai meneteskan air mata. Saya sedih saat Reda marah kepada ayahnya. Pertanyaan berulang diajukan Reda kepada ayahnya tentang maksud dari tekad kepada ayahnya pergi ke Mekkah dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh ini. 

Jawaban sang ayah, “Mekkah adalah tempat suci umat Islam dari seluruh dunia dan merupakan peninggalan nabi Ibrahim. Semua umat Islam yang masih mampu secara fisik, mental dan materi diharuskan naik haji ke Mekkah sebelum dia meninggal dunia. Aku takut jika aku Ketakutanku akan meninggal sebelum benar-benar sampai di Mekkah. Beruntunglah, kau menemaniku sepanjang perjalanan ini. Aku mempelajari banyak hal selama perjalanan ini”.

Akhirnya mereka berdamai dan Reda mulai tersenyum. Duh seneng banget deh, melihat mereka berdua damai lagi. Akhir kisah, ketika sampai di Mekkah, sang ayah  yang sudah beberapa hari melaksanakan ibadah haji di Masjidil Haram, kemudian tidak kembali lagi ke mobil dimana Reda menunggunya. Reda mulai ketakutan. Barulah Reda mnyadari, akan kehilangan seorang ayah yang amat dicintainya. Penyesalanpun datang.  Sungguh nikmat yang luar bisa, sang ayah meninggal dalam keadaan khusnul hotimah, disaat dia sudah melaksanakan ibadah haji yang selama ini menjadi tujuan hidupnya. Sungguh allah menyayanginya. Dalam perjalanan panjang bersama ayahnya, reda mulai terbuka hatinya, dia menemukan hidayah dalam jiwanya. Ajaran-ajaran ayahnya benar-benar memberikan dampak perubahan besar baginya. 



Dari film ini banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik. Sungguh menggugah hati dan jiwa ketika menonton film ini, Sempat terpikir dalam hati, aku ingin seperti ayah reda, jika nanti meninggal, dalam keadaan sedang beribadah dan khusnul hotimah. Satu lagi meskipun keimanan itu tidak dapat diwarisi, tapi keimanan tetap harus diterapkan sejak anak masih kecil, sehingga ketika dewasa, imannya tetap kuat. Mudah-mudahan dengan  sedikit kisah ini, akan membuat semua umat muslim yang belum naik haji, mempunyai niat yang tulus dan rezeki yang banyak sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Serta semua anak-anak di dunia ini mendapatkan arah hidup yang benar dan hidayah islam yang luar biasa.

Saya jadi teringat dengan almarhum ayah saya yang belum diberi kesempatan naik haji, tapi sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Allah SWT. Itulah saat -saat dimana saya kehilangan sosoknya. Sosok yang taat dan iman yang kuat. Seorang ayah yang selalu mengajarkan banyak hal terutama dalam agama baik sholat, ngaji maupun ibadah lainnya. Beliau selalu mengingatkan anak-anaknya ketika waktu shalat dan beliau pula yang menyuruh kami untuk mengaji. 

8 komentar

Bandung Diary Blog mengatakan...

aaah film ini saya juga nonton! endingnya duh bikin nangis lah. kalo kata big yellow taxi: you dont know what youve got till its gone. jadi selama masih ada, syukuri aja. gitu kali ya pesen moralnya juga :D

FaniaSurya mengatakan...

Iya mb... filmnya bikin nangis.... mensukuri apa yg ada selama perjalanan... betul itu... terutama yg minta daging itu ya.. hehehehe

Irwin Andriyanto mengatakan...

Semoga saya bisa jadi seperti Ayah Reda yang mampu menentun kearah kebaikan Amin..

FaniaSurya mengatakan...

@irwin Amin ya rabbal alamin3x

Arinta Setia Sari mengatakan...

Saya malah jarang banget nonton film garapan Prancis, apalagi Prancis Maroko.
Recommended dah nih film :)

FaniaSurya mengatakan...

Iya mb... ayo ditonton...bagus lo...

FaniaSurya mengatakan...

Iya mb... ayo ditonton...bagus lo...

Evrinasp mengatakan...

semoga kita bisa ke baitullah ya mbak, yang kurang beruntung secara ekonomi saja bisa setelah bertahun2 menabung, terimakasih atas partisipasinya ya